URGENSITAS AMANDEMEN UUD 1945
DI BALIK PRAHARA MAHKAMAH
KONSTITUSI
Achmad Haris Januariansyah, S.H.,
M.H.
Akhir-akhir ini banyak
sekali perdebatan-perdebatan terhadap upaya recoveri MK pasca ditangkapnya Akil
Mochtar atas dugaan tindak pidana korupsi. Salah satu polemik yang muncul
adalah tentang pengaturan MK khususnya terhadap perekrutan dan pengawasan
terhadap hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial (KY) melalui istrumen Perppu
atau revisi Undang-Undang tentang MK dan KY. Masih teringat pada rubrik opini
pada tanggal 9 Oktober 2013, Fajrul Falaaq juga mempunyai opini bahwa dalam
keadaan genting MK tidak perlu dengan amandemen, melainkan cukup dengan
istrumen UU KY dan UU MK. Dalam kesempatan ini penulis hendak menganalisa
beberapa point penting diantaranya seberapa urgen pemerintah mengeluarkan
Perppu tentang MK dan sudah tepatkah Pemerintah melakukan revisi UU MK dan UU
KY dalam konteks pemberian kewenagan KY dalam melakukan Pengawasan terhadap
Hakim MK.
Perlukah
Perppu tentang MK
Berbicara mengenai
urgensitas Perppu tentang MK dalam konteks saat ini perlu ditinjau dari
beberapa aspek. Aspek pertama adalah tafsir Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945
tentang “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. setidaknya
ada beberapa parameter konstitusional yang sudah di jadikan rujukan atas
pengertian "hal ikhwal kegentingan yang memaksa", diantaranya MK
dalam putusannya menyatakan bahwa adanya keadaan mendesak (emergency condition) yang mengadung pengertian adanya kebutuhan
yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU,
kedua adalah UU yang dibutuhkan belum ada (vacuum of law) atau ada UU tapi tidak
memadai, ketiga adalah kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan
cara membuat UU secara prosedural karena membutuhkan waktu yang lama.
Berdasarkan beberapa parameter dari suatu legitimasi terhadap keberlakuan
Perppu, maka upaya pembentukkan Perppu tentang MK yang berisi sistem perekrutan
Hakim MK dan pengawasannya bukan suatu pengertian daripada pengertian
kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh beberapa pakar hukum dewasa ini.
Sebab pertama tidak ada suatu hal yang bersifat emergency condition atau vacuum
of law terhadap pengisian jabatan ketua MK yang tertangkap oleh KPK yang
mempengaruhi tugas hakim lainnya dalam bersidang. Hal ini dapat dilihat
bagaimana komprehensifnya UU MK jika terjadi keadaan extraordinary MK masih dapat menjalankan kewenangannya dan memeriksa
dan mengadili dan memutus perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU MK. Sedangkan
dalam perekrutan dan pengisian jabatan hakim MK untuk menggantikan Akil Mochtar
dapat menggunakan mekanisme yang sudah diatur dalam UU MK. Sehingga tidak ada
dalih yang membenarkan bahwa ada unsur reasonable
necessity dan limited time untuk mengeluarkan Perppu sebagai dalih alasan
kegentingan yang memaksa dalam upaya pemulihan kredibilitas MK. Akan tetapi
secara ius constituendum tidak juga
dipungkiri perlu adanya pengawasan eksternal terhadap MK. Namun tentunya
instrumen Perppu tidak tepat dalam konteks kegentingan dan pengaturan rekrutmen
dan pengawasaan Hakim MK oleh KY.
Amandemen
UUD 1945
Menurut
Fajrul Falaaq bahwa tidak perlu melakukan amandemen UUD 1945 dalam rekrutmen
dan pengawasan hakim MK oleh KY. Menurut teori perundang-undangan tentu
pernyataan pendapat ini adalah kurang tepat. Sebab norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki, dalam arti norma
hukum yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang
lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma hukum yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut yaitu Grundnorm.
Pernyataan ini jika ditarik berdasarkan tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagaimana Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 maka metode revisi
UU MK atau UU KY bertentangan dengan landasan teori bahwa norma hukum yang
lebih tinggi menjadi sumber dari norma hukum yang lebih rendah. Sebab jika
kemudian Revisi UU MK ataupun KY terdapat klasula norma yang menyatakan bahwa
KY berwenang dalam mengusulkan rekrutmen dan pengawasan Hakim MK, maka secara
tidak langsung terjadi inkonstitusionalitas terhadap suasana batin dan
filosofis daripada Pasal 24 B UUD 1945 dan melawan putusan MK Nomor
005/PUU-IV2006 yang bersifat final and
binding. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa secara historis tujuan Pasal 24 B UUD 1945 yaitu mengatur kewenangan
pengawasan KY dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta prilaku hakim dibawah kekuasaan MA. Oleh sebab itu kedepan demi
menghindari problematika hukum baru jika dilakukan revisi UU KY ataupu MK, maka
harus terlebih dahulu melakukan amandemen UUD NRI 1945 yang merupakan payung daripada
keberlakuan norma hukum dibawahnya.