Rabu, 16 Oktober 2013



URGENSITAS AMANDEMEN UUD 1945
DI BALIK PRAHARA MAHKAMAH KONSTITUSI
Achmad Haris Januariansyah, S.H., M.H.
Akhir-akhir ini banyak sekali perdebatan-perdebatan terhadap upaya recoveri MK pasca ditangkapnya Akil Mochtar atas dugaan tindak pidana korupsi. Salah satu polemik yang muncul adalah tentang pengaturan MK khususnya terhadap perekrutan dan pengawasan terhadap hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial (KY) melalui istrumen Perppu atau revisi Undang-Undang tentang MK dan KY. Masih teringat pada rubrik opini pada tanggal 9 Oktober 2013, Fajrul Falaaq juga mempunyai opini bahwa dalam keadaan genting MK tidak perlu dengan amandemen, melainkan cukup dengan istrumen UU KY dan UU MK. Dalam kesempatan ini penulis hendak menganalisa beberapa point penting diantaranya seberapa urgen pemerintah mengeluarkan Perppu tentang MK dan sudah tepatkah Pemerintah melakukan revisi UU MK dan UU KY dalam konteks pemberian kewenagan KY dalam melakukan Pengawasan terhadap Hakim MK.
Perlukah Perppu tentang MK
Berbicara mengenai urgensitas Perppu tentang MK dalam konteks saat ini perlu ditinjau dari beberapa aspek. Aspek pertama adalah tafsir Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945 tentang “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. setidaknya ada beberapa parameter konstitusional yang sudah di jadikan rujukan atas pengertian "hal ikhwal kegentingan yang memaksa", diantaranya MK dalam putusannya menyatakan bahwa adanya keadaan mendesak (emergency condition) yang mengadung pengertian adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, kedua adalah UU yang dibutuhkan belum ada (vacuum of law) atau ada UU tapi tidak memadai, ketiga adalah kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedural karena membutuhkan waktu yang lama. Berdasarkan beberapa parameter dari suatu legitimasi terhadap keberlakuan Perppu, maka upaya pembentukkan Perppu tentang MK yang berisi sistem perekrutan Hakim MK dan pengawasannya bukan suatu pengertian daripada pengertian kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh beberapa pakar hukum dewasa ini. Sebab pertama tidak ada suatu hal yang bersifat emergency condition atau vacuum of law terhadap pengisian jabatan ketua MK yang tertangkap oleh KPK yang mempengaruhi tugas hakim lainnya dalam bersidang. Hal ini dapat dilihat bagaimana komprehensifnya UU MK jika terjadi keadaan extraordinary MK masih dapat menjalankan kewenangannya dan memeriksa dan mengadili dan memutus perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU MK. Sedangkan dalam perekrutan dan pengisian jabatan hakim MK untuk menggantikan Akil Mochtar dapat menggunakan mekanisme yang sudah diatur dalam UU MK. Sehingga tidak ada dalih yang membenarkan bahwa ada unsur reasonable necessity dan limited time untuk mengeluarkan Perppu sebagai dalih alasan kegentingan yang memaksa dalam upaya pemulihan kredibilitas MK. Akan tetapi secara ius constituendum tidak juga dipungkiri perlu adanya pengawasan eksternal terhadap MK. Namun tentunya instrumen Perppu tidak tepat dalam konteks kegentingan dan pengaturan rekrutmen dan pengawasaan Hakim MK oleh KY.
Amandemen UUD 1945
Menurut Fajrul Falaaq bahwa tidak perlu melakukan amandemen UUD 1945 dalam rekrutmen dan pengawasan hakim MK oleh KY. Menurut teori perundang-undangan tentu pernyataan pendapat ini adalah kurang tepat. Sebab norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki, dalam arti norma hukum yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yaitu Grundnorm. Pernyataan ini jika ditarik berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 maka metode revisi UU MK atau UU KY bertentangan dengan landasan teori bahwa norma hukum yang lebih tinggi menjadi sumber dari norma hukum yang lebih rendah. Sebab jika kemudian Revisi UU MK ataupun KY terdapat klasula norma yang menyatakan bahwa KY berwenang dalam mengusulkan rekrutmen dan pengawasan Hakim MK, maka secara tidak langsung terjadi inkonstitusionalitas terhadap suasana batin dan filosofis daripada Pasal 24 B UUD 1945 dan melawan putusan MK Nomor 005/PUU-IV2006 yang bersifat final and binding. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa secara historis tujuan  Pasal 24 B UUD 1945 yaitu mengatur kewenangan pengawasan KY dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta prilaku hakim dibawah kekuasaan MA. Oleh sebab itu kedepan demi menghindari problematika hukum baru jika dilakukan revisi UU KY ataupu MK, maka harus terlebih dahulu melakukan amandemen UUD NRI 1945 yang merupakan payung daripada keberlakuan norma hukum dibawahnya.    

Selasa, 22 Januari 2013

Keputusan Presiden Tentang Grasi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara



Keputusan Presiden Tentang Grasi
Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara
created by Achmad Haris S.H., M.H
Praktik penyelenggaraan negara dewasa ini menimbulkan problematika khususnya terkait kewenangan Presiden dalam memberikan grasi kepada Schapelle Corby terpidana dengan kasus narkotika asal Australia yang sebelumnya dipidana penjara 20 Tahun. Hal ini menjadi menarik ketika terbitkannya Keputusan Presiden No 12/G/2012 perihal pemberian grasi muncul suatu gerakan untuk menggugat keberadaan Keputusan Presiden No 12/G/2012 perihal pemberian grasi tersebut ke Pengadilan PTUN oleh Granat (Gerakan Anti Narkotika) dengan kuasa hukumnya Yuzril Ihza Mahendra. Akan tetapi permasalahan disini adalah apakah Keputusan Presiden Terkait Grasi yang diberikan kepada Corby merupakan  Keputusan Tata Usaha Negara yang menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 jo Undang 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan bagian dari objek sengketa tata usaha negara.
Keputusan Presiden No 12/G/2012 Secara Teoritikal  dan Undang-Undang UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN.  Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN
Keberaan Keputusan Presiden No12/G/2012 tentang grasi merupakan bagian dari tindakan/perbuatan administrasi negara seorang Presiden sebagai administrator suatu negara yang dalam hal ini adalah suatu tindakan penetapan pemberian grasi. Menurut Prajudi Atmosudirjo bahwa salah tindakan atau perbuatan hukum administrasi negara bentuknya Penetapan (beschikking) atau administrative discreation. Akan tetapi apakah Kepres tentang Grasi merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menjadi objek sengketa dalam PTUN. Problematika ini sebenarnya dapat diketahui dengan melakukan pendekatan teoritikal  perundang-undang yakni UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Menurut Pasal 1 angka 4 UU. No. 5 Tahun 1986 Jo UU No, 9 Tahun 2004 Jo UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN maka yang dimaksud sebagai objek sengketa tata usaha negara adalah KTUN. Lebih lanjut Pasal 1 angka 3 UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa, “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, Individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 tersebut maka terdapat unsur-unsur suatu keputusan/penetapan termasuk dalam ruang lingkup KTUN. Menurut Indroharto (1996: 163) ada beberapa unsur-unsur KTUN diantaranya: pertama, bentuk penetapan tersebut harus tertulis; kedua, ia dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN; ketiga berisi tindakan hukum TUN; keempat, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; lima, bersifat konkret, individual, dan final; enam, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan unsur-unsur tersebut jika dikaitkan dengan Kepres tentang Grasi maka Kepres tersebut hanya mengandung pengertian tindakan hukum administrasi negara. sebab suatu norma hukum yang tercipta dalam Kepres No. 12/G/2012 hanya memenuhi unsur penetapan tertulis, unsur yang dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN, bersifat konkret, individual dan final. Akan tetapi ada unsur “tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang tidak terpenuhi” sehingga berimplikasi pada status Kepres tentang Grasi menjadi suatu Keputusan yang bukan merupakan KTUN berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986   jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Menurut Prajudi Atmosudirdo (1994:94) bahwa tindak hukum atau perbuatan hukum (rechtshandeling) tersebut harus sepihak (eenzijdig) dan harus bersifat administrasi negara, artinya realisasi daripada suatu kehendak atau ketentuan Undang-Undang secara nyata, kasual, invidual. Berdasarkan pengertian tersebut maka Kepres tentang Grasi bukan merupakan realisasi dari peraturan perundang-undangan atau dengan perkataan lain bukan merupakan realisasi dari suatu kehendak atau ketentuan Undang-Undang secara nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986. Hal dikarenakan Kepres No.12/G/2012 terkait pemberian grasi merupakan suatu perwujudan pelaksaan kewenangan Presiden yang diatur secara Konstitusional di dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa, “Presiden memberikan Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.
Berdasarkan ketentuan tersebut walaupun pemberian grasi merupakan hak preogratif Presiden, tetapi  secara formil Keputusan Tersebut merupakan suatu keputusan administrasi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 kepada Presiden untuk memberikan Grasi. Permasalahannya apakah UUD NRI 1945 bukan merupakan peraturan perundang-undangan. terkait hal ini maka pada prinsipnya UUD NRI bukan merupakan peraturan perundang-undangan sebagaimana syarat unsur dimaksud Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986. Sebab  walaupun merupakan norma hukum, tetapi menurut Maria farida (2007: 75-76) didalam UUD NRI 1945 terdapat dua kelompok norma hukum yakni Pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan Norma fundamental Negara yang bersifat presupposed (postulat) yang merupakan landasan filosofis dan batang tubuh yang merupakan staatsgrundgesetz/aturan dasar negara yang merupakan garis-garis besar kebijaksanaan negara dan diantara kedua norma tersebut masih bersifat garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, jadi belum dilekati norma hukum yang berisi sanksi. Sehingga kedudukan Kepres No. 12/G tentang Grasi tidak memenuhi unsur sebagai KTUN yakni, unsur “tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan”. oleh sebab itu Kepres tentang Grasi cukup dimaknai sebagai tindakan atau perbuatan administrasi negara yang bukan termasuk dalam objek Sengketa PTUN sebagaimana Pasal 1 angka 4 yaitu Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN.    
Buku
Atmosudirjo, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1994.
Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Indroharto, Buku I :Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Peraturan perundang undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN



Menyoal Putusan MK No. 5/PUU-XII/2012 Tentang Pengujian UU SIsdiknas



Menyoal Putusan MK No. 5/PUU-XII/2012 
Tentang Pengujian Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Created by Achmad Haris S.H.,M.H
Akhir-akhir ini timbul kembali problematika dunia pendidikan di Indonesia pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-XII/2012 yang menguji konstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) UUD 1945. Dalam aspek pendidikan dapat dikatakan pasca putusan ini problematika pendidikan sebagaimana implikasi dari implementasi RSBI adalah kewenangan seluruh warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan. Akan tetapi pada aspek yang lain, Problematika disini tidak semata-mata permasalahan pendidikan SBI dan RSBI yang dinginkan untuk dibubarkan melainkan juga persolan hukum. Problematika sebagaimana dimaksud adalah, bahwa dengan adanya putusan MK ini, maka ada beberapa keganjilan penerapan hukum serta additional authority (tambahan kewenangan) yang coba dibangun oleh Mahkamah Konstitusi khususnya dalam hal perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Konstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003
Salah satu kewenangan MK Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 adalah  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berdasarkan kewenangan tersebut mahkamah konstitusi menganggap dirinya berwenang untuk menguji Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi apakah Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS benar-benar Inskonstitusional sebagaimana pendapat MK dalam Putusannya. Pasal 50 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Berdasarkan rumusan tersebut Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tersebut maka pada prinsipnya bukan inskontitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi maupun dalih  para pemohon yang mengganggap bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana alinea keempat pembukaan UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau juga bukan merupakan inskonstitusioanal terhadap Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal disebabkan karena rumusan norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) adalah suatu upaya pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang mempunyai daya saing baik di lingkup nasional maupun internasional diatas pergolakan globalisasi kedepan. Disamping itu bahwa rumusan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 secara gramatikal tidak ada tujuan dengan mewujudkan sekolah RSBI, Pemerintah melepaskan tanggungjawabnya untuk menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 C, 28 E ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 untuk tidak diperlakukan secara diskriminasi. Bahkan tidak ada secara gramatikal pula norma tersebut mempunyai maksud dan tujuan Pemerintah untuk melepas tanggung jawabnya dalam membiayai pendidikan serta menjamin warganya untuk memperoleh pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Oleh karena itu Pasal 50 ayat (3) UU. No. 20 Tahun 2003 sebenarnya tidak relevan jika dikatakan Inskonstitusional terhadap UUD 1945.
MK tidak menguji UU Sisdiknas 
Pada putusan MK No. 5/PUU-XII/2012 dapat juga dilihat bahwa sebenarnya MK tidak menguji Pasal 50 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas melainkan menguji penerapan dari RSBI yang tercermin dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional terhadap UUD 1945. Sebab kerugian-kerugian konstitusioanal sebagaimana didalihkan pemohon misalnya adanya diskriminasi akibat dari pungutan biaya-biaya sekolah yang tinggi termasuk uang gedung  dan biaya pendaftaran untuk siswa yang ingin belajar di sekolah RSBI dan SBI. Fakta-fakta tersebut adalah fakta dalam praktek penyelenggaraan RSBI dan SBI sebenarnya ternormakan dalam materi Peraturan Nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 13 ayat (3) Permendiknas No. 78 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa, “SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya diatas standar pembiayaan yang didasarkan pada RPS/RKS dan RKAS.” Berdasarkan rumusan tersebut memang sangat bertendensi diskriminasi pendidikan dari segi ekonomi. Sebab terdapat biaya-biaya yang memberatkan secara ekonomi bagi para siswa yang ingin belajar di RSBI ataupun SBI. Padahal RSBI dan SBI sudah mendapatkan dana yang bersumber dari APBN ataupun APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota. Oleh karena itu potensi-potensi kerugian akibat dari RSBI dan SBI sebagaimana MK berpendapat bahwa RSBI bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menimbulkan dualisme sistem pendidikan, Satuan pendidikan bertaraf internasional adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan, Satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan; Satuan pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia adalah bagian dari cermin dari Permendiknas No. 78 Tahun 2009 dan bukan cermin dari Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
Additional Authority dalam Putusan MK 
Ada beberapa Implikasi akibat dari Putusan terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Implikasi yang bersifat extra ordinary dalam putusan ini adalah MK disamping menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945 juga menguji Peraturan dibawah Undang-Undang dengan UUD 1945. Sebab hal-hal yang bertentangan dan dikaitkan dengan hak-hak yang dirugikan secara konstitusional para pemohon adalah materi peraturan yang bersumber dari Permendiknas No. 78 Tahun 2009 bukan UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Sehingga atas dasar ini MK mencoba mengkonstruksi additional authority (tambahan kewengan) khususnya dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang tidak hanya terbatas pada UU melainkan peraturan dibawah undang-undang. Sehingga pengujian UU No. 20 Tahun 2003 ini tidak senafas dengan kewenangan MK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.