Keputusan Presiden Tentang Grasi
Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara
created by Achmad Haris S.H., M.H
Praktik penyelenggaraan negara dewasa ini menimbulkan
problematika khususnya terkait kewenangan Presiden dalam memberikan grasi
kepada Schapelle Corby terpidana dengan kasus narkotika asal Australia yang
sebelumnya dipidana penjara 20 Tahun. Hal ini menjadi menarik ketika
terbitkannya Keputusan Presiden No 12/G/2012 perihal pemberian grasi muncul
suatu gerakan untuk menggugat keberadaan Keputusan Presiden No 12/G/2012
perihal pemberian grasi tersebut ke Pengadilan PTUN oleh Granat (Gerakan Anti
Narkotika) dengan kuasa hukumnya Yuzril Ihza Mahendra. Akan tetapi permasalahan
disini adalah apakah Keputusan Presiden Terkait Grasi yang diberikan kepada
Corby merupakan Keputusan Tata Usaha
Negara yang menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 jo Undang 9
Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) merupakan bagian dari objek sengketa tata usaha negara.
Keputusan
Presiden No 12/G/2012 Secara Teoritikal dan
Undang-Undang UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun
2009 tentang PTUN. Berdasarkan Pasal 1
angka 3 UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009
tentang PTUN
Keberaan Keputusan Presiden No12/G/2012 tentang grasi
merupakan bagian dari tindakan/perbuatan administrasi negara seorang Presiden
sebagai administrator suatu negara yang dalam hal ini adalah suatu tindakan
penetapan pemberian grasi. Menurut Prajudi Atmosudirjo bahwa salah tindakan
atau perbuatan hukum administrasi negara bentuknya Penetapan (beschikking) atau administrative discreation. Akan tetapi apakah Kepres tentang Grasi
merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menjadi objek sengketa dalam
PTUN. Problematika ini sebenarnya dapat diketahui dengan melakukan pendekatan
teoritikal perundang-undang yakni UU.
No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN.
Menurut Pasal 1 angka 4 UU. No. 5 Tahun 1986 Jo UU No, 9 Tahun 2004 Jo UU No.
51 Tahun 2009 tentang PTUN maka yang dimaksud sebagai objek sengketa tata usaha
negara adalah KTUN. Lebih lanjut Pasal 1 angka 3 UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No.
9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Berdasarkan Pasal 1 angka 3
menyatakan bahwa, “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
Individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 tersebut maka terdapat
unsur-unsur suatu keputusan/penetapan termasuk dalam ruang lingkup KTUN.
Menurut Indroharto (1996: 163) ada beberapa unsur-unsur KTUN diantaranya: pertama, bentuk penetapan tersebut harus
tertulis; kedua, ia dikeluarkan oleh
Badan atau Jabatan TUN; ketiga berisi
tindakan hukum TUN; keempat, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; lima,
bersifat konkret, individual, dan final;
enam, menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan unsur-unsur tersebut jika
dikaitkan dengan Kepres tentang Grasi maka Kepres tersebut hanya mengandung
pengertian tindakan hukum administrasi negara. sebab suatu norma hukum yang tercipta
dalam Kepres No. 12/G/2012 hanya memenuhi unsur penetapan tertulis, unsur yang
dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN, bersifat konkret, individual dan
final. Akan tetapi ada unsur “tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang tidak terpenuhi” sehingga berimplikasi
pada status Kepres tentang Grasi menjadi
suatu Keputusan yang bukan merupakan KTUN berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 jo UU
No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Menurut Prajudi Atmosudirdo
(1994:94) bahwa tindak hukum atau perbuatan hukum (rechtshandeling) tersebut harus sepihak (eenzijdig) dan harus bersifat administrasi negara, artinya
realisasi daripada suatu kehendak atau ketentuan Undang-Undang secara nyata,
kasual, invidual. Berdasarkan pengertian tersebut maka Kepres tentang Grasi
bukan merupakan realisasi dari peraturan perundang-undangan atau dengan
perkataan lain bukan merupakan realisasi dari suatu kehendak atau ketentuan
Undang-Undang secara nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5
Tahun 1986. Hal dikarenakan Kepres No.12/G/2012 terkait pemberian grasi
merupakan suatu perwujudan pelaksaan kewenangan Presiden yang diatur secara
Konstitusional di dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa, “Presiden memberikan Grasi dan
Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.
Berdasarkan ketentuan tersebut walaupun pemberian
grasi merupakan hak preogratif Presiden, tetapi
secara formil Keputusan Tersebut merupakan suatu keputusan administrasi
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 kepada Presiden untuk memberikan
Grasi. Permasalahannya apakah UUD NRI 1945 bukan merupakan peraturan
perundang-undangan. terkait hal ini maka pada prinsipnya UUD NRI bukan
merupakan peraturan perundang-undangan sebagaimana syarat unsur dimaksud Pasal
1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986. Sebab walaupun merupakan norma hukum, tetapi menurut
Maria farida (2007: 75-76) didalam UUD NRI 1945 terdapat dua kelompok norma
hukum yakni Pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan Norma fundamental Negara yang
bersifat presupposed (postulat) yang
merupakan landasan filosofis dan batang tubuh yang merupakan staatsgrundgesetz/aturan dasar negara
yang merupakan garis-garis besar kebijaksanaan negara dan diantara kedua norma
tersebut masih bersifat garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, jadi
belum dilekati norma hukum yang berisi sanksi. Sehingga kedudukan Kepres No.
12/G tentang Grasi tidak memenuhi unsur sebagai KTUN yakni, unsur “tindakan
hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan”. oleh sebab itu Kepres
tentang Grasi cukup dimaknai sebagai tindakan atau perbuatan administrasi
negara yang bukan termasuk dalam objek Sengketa PTUN sebagaimana Pasal 1 angka
4 yaitu Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang
PTUN.
Buku
Atmosudirjo, S.
Prajudi, Hukum Administrasi Negara,
Jakarta:Ghalia Indonesia, 1994.
Indrati, Maria
Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Indroharto, Buku I :Usaha Memahami Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Peraturan perundang undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.
5 Tahun 1986, UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986
tentang PTUN