Menyoal Putusan
MK No. 5/PUU-XII/2012
Tentang Pengujian Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional
Created by Achmad Haris S.H.,M.H
Akhir-akhir ini timbul kembali problematika dunia
pendidikan di Indonesia pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-XII/2012
yang menguji konstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) UUD 1945. Dalam aspek
pendidikan dapat dikatakan pasca putusan ini problematika pendidikan sebagaimana
implikasi dari implementasi RSBI adalah kewenangan seluruh warga negara yang
hak konstitusionalnya dirugikan. Akan tetapi pada aspek yang lain, Problematika
disini tidak semata-mata permasalahan pendidikan SBI dan RSBI yang dinginkan
untuk dibubarkan melainkan juga persolan hukum. Problematika sebagaimana
dimaksud adalah, bahwa dengan adanya putusan MK ini, maka ada beberapa
keganjilan penerapan hukum serta additional authority (tambahan kewenangan)
yang coba dibangun oleh Mahkamah Konstitusi khususnya dalam hal perkara
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Konstitusionalitas
Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003
Salah satu kewenangan MK Berdasarkan Pasal 24 C ayat
(1) UUD 1945 adalah Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berdasarkan
kewenangan tersebut mahkamah konstitusi menganggap dirinya berwenang untuk
menguji Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi apakah Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun
2003 tentang SISDIKNAS benar-benar Inskonstitusional sebagaimana pendapat MK
dalam Putusannya. Pasal 50 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Berdasarkan
rumusan tersebut Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tersebut maka pada
prinsipnya bukan inskontitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi
maupun dalih para pemohon yang mengganggap
bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana alinea keempat pembukaan UUD 1945
yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau juga bukan merupakan
inskonstitusioanal terhadap Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1), Pasal
28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31
ayat
(2), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal disebabkan karena rumusan norma sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) adalah suatu upaya pemerintah untuk mewujudkan
tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang mempunyai daya saing
baik di lingkup nasional maupun internasional diatas pergolakan globalisasi
kedepan. Disamping itu bahwa rumusan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003
secara gramatikal tidak ada tujuan dengan mewujudkan sekolah RSBI, Pemerintah
melepaskan tanggungjawabnya untuk menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 C, 28 E ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 untuk
tidak diperlakukan secara diskriminasi. Bahkan tidak ada secara gramatikal pula
norma tersebut mempunyai maksud dan tujuan Pemerintah untuk melepas tanggung
jawabnya dalam membiayai pendidikan serta menjamin warganya untuk memperoleh
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Oleh
karena itu Pasal 50 ayat (3) UU. No. 20 Tahun 2003 sebenarnya tidak relevan
jika dikatakan Inskonstitusional terhadap UUD 1945.
MK
tidak menguji UU Sisdiknas
Pada putusan MK
No. 5/PUU-XII/2012 dapat juga dilihat bahwa sebenarnya MK tidak menguji Pasal
50 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas melainkan menguji penerapan
dari RSBI yang tercermin dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 78 tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional terhadap UUD 1945. Sebab
kerugian-kerugian konstitusioanal sebagaimana didalihkan pemohon misalnya
adanya diskriminasi akibat dari pungutan biaya-biaya sekolah yang tinggi
termasuk uang gedung dan biaya
pendaftaran untuk siswa yang ingin belajar di sekolah RSBI dan SBI. Fakta-fakta
tersebut adalah fakta dalam praktek penyelenggaraan RSBI dan SBI sebenarnya
ternormakan dalam materi Peraturan Nomor
78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional. Hal ini dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 13 ayat (3) Permendiknas No. 78 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa, “SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi
kekurangan biaya diatas standar pembiayaan yang didasarkan pada RPS/RKS dan
RKAS.” Berdasarkan rumusan tersebut memang sangat bertendensi diskriminasi
pendidikan dari segi ekonomi. Sebab terdapat biaya-biaya yang memberatkan
secara ekonomi bagi para siswa yang ingin belajar di RSBI ataupun SBI. Padahal
RSBI dan SBI sudah mendapatkan dana yang bersumber dari APBN ataupun APBD
Provinsi, APBD Kabupaten/Kota. Oleh karena itu potensi-potensi kerugian akibat
dari RSBI dan SBI sebagaimana MK berpendapat bahwa RSBI
bertentangan dengan kewajiban negara
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menimbulkan dualisme sistem pendidikan, Satuan pendidikan bertaraf
internasional adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan, Satuan pendidikan bertaraf
internasional menimbulkan diskriminasi dan
kastanisasi
dalam bidang pendidikan; Satuan
pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa
Indonesia adalah bagian
dari cermin dari Permendiknas No. 78 Tahun 2009 dan bukan cermin dari Pasal 50
ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
Additional
Authority dalam Putusan MK
Ada beberapa
Implikasi akibat dari Putusan terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
Implikasi yang bersifat extra ordinary dalam putusan ini adalah MK disamping
menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945 juga menguji Peraturan dibawah
Undang-Undang dengan UUD 1945. Sebab hal-hal yang bertentangan dan dikaitkan
dengan hak-hak yang dirugikan secara konstitusional para pemohon adalah materi
peraturan yang bersumber dari Permendiknas No. 78 Tahun 2009 bukan UU No. 20
Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Sehingga atas dasar ini MK mencoba mengkonstruksi
additional authority (tambahan kewengan) khususnya dalam pengujian peraturan
perundang-undangan yang tidak hanya terbatas pada UU melainkan peraturan
dibawah undang-undang. Sehingga pengujian UU No. 20 Tahun 2003 ini tidak senafas
dengan kewenangan MK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar