Selasa, 22 Januari 2013

Menyoal Putusan MK No. 5/PUU-XII/2012 Tentang Pengujian UU SIsdiknas



Menyoal Putusan MK No. 5/PUU-XII/2012 
Tentang Pengujian Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Created by Achmad Haris S.H.,M.H
Akhir-akhir ini timbul kembali problematika dunia pendidikan di Indonesia pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-XII/2012 yang menguji konstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) UUD 1945. Dalam aspek pendidikan dapat dikatakan pasca putusan ini problematika pendidikan sebagaimana implikasi dari implementasi RSBI adalah kewenangan seluruh warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan. Akan tetapi pada aspek yang lain, Problematika disini tidak semata-mata permasalahan pendidikan SBI dan RSBI yang dinginkan untuk dibubarkan melainkan juga persolan hukum. Problematika sebagaimana dimaksud adalah, bahwa dengan adanya putusan MK ini, maka ada beberapa keganjilan penerapan hukum serta additional authority (tambahan kewenangan) yang coba dibangun oleh Mahkamah Konstitusi khususnya dalam hal perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Konstitusionalitas Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003
Salah satu kewenangan MK Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 adalah  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berdasarkan kewenangan tersebut mahkamah konstitusi menganggap dirinya berwenang untuk menguji Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi apakah Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS benar-benar Inskonstitusional sebagaimana pendapat MK dalam Putusannya. Pasal 50 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Berdasarkan rumusan tersebut Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tersebut maka pada prinsipnya bukan inskontitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi maupun dalih  para pemohon yang mengganggap bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana alinea keempat pembukaan UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau juga bukan merupakan inskonstitusioanal terhadap Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal disebabkan karena rumusan norma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) adalah suatu upaya pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang mempunyai daya saing baik di lingkup nasional maupun internasional diatas pergolakan globalisasi kedepan. Disamping itu bahwa rumusan Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 secara gramatikal tidak ada tujuan dengan mewujudkan sekolah RSBI, Pemerintah melepaskan tanggungjawabnya untuk menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 C, 28 E ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 untuk tidak diperlakukan secara diskriminasi. Bahkan tidak ada secara gramatikal pula norma tersebut mempunyai maksud dan tujuan Pemerintah untuk melepas tanggung jawabnya dalam membiayai pendidikan serta menjamin warganya untuk memperoleh pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Oleh karena itu Pasal 50 ayat (3) UU. No. 20 Tahun 2003 sebenarnya tidak relevan jika dikatakan Inskonstitusional terhadap UUD 1945.
MK tidak menguji UU Sisdiknas 
Pada putusan MK No. 5/PUU-XII/2012 dapat juga dilihat bahwa sebenarnya MK tidak menguji Pasal 50 Ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas melainkan menguji penerapan dari RSBI yang tercermin dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional terhadap UUD 1945. Sebab kerugian-kerugian konstitusioanal sebagaimana didalihkan pemohon misalnya adanya diskriminasi akibat dari pungutan biaya-biaya sekolah yang tinggi termasuk uang gedung  dan biaya pendaftaran untuk siswa yang ingin belajar di sekolah RSBI dan SBI. Fakta-fakta tersebut adalah fakta dalam praktek penyelenggaraan RSBI dan SBI sebenarnya ternormakan dalam materi Peraturan Nomor 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 13 ayat (3) Permendiknas No. 78 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa, “SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya diatas standar pembiayaan yang didasarkan pada RPS/RKS dan RKAS.” Berdasarkan rumusan tersebut memang sangat bertendensi diskriminasi pendidikan dari segi ekonomi. Sebab terdapat biaya-biaya yang memberatkan secara ekonomi bagi para siswa yang ingin belajar di RSBI ataupun SBI. Padahal RSBI dan SBI sudah mendapatkan dana yang bersumber dari APBN ataupun APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota. Oleh karena itu potensi-potensi kerugian akibat dari RSBI dan SBI sebagaimana MK berpendapat bahwa RSBI bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menimbulkan dualisme sistem pendidikan, Satuan pendidikan bertaraf internasional adalah bentuk baru liberalisasi pendidikan, Satuan pendidikan bertaraf internasional menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan; Satuan pendidikan bertaraf internasional berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia adalah bagian dari cermin dari Permendiknas No. 78 Tahun 2009 dan bukan cermin dari Pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
Additional Authority dalam Putusan MK 
Ada beberapa Implikasi akibat dari Putusan terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Implikasi yang bersifat extra ordinary dalam putusan ini adalah MK disamping menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945 juga menguji Peraturan dibawah Undang-Undang dengan UUD 1945. Sebab hal-hal yang bertentangan dan dikaitkan dengan hak-hak yang dirugikan secara konstitusional para pemohon adalah materi peraturan yang bersumber dari Permendiknas No. 78 Tahun 2009 bukan UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Sehingga atas dasar ini MK mencoba mengkonstruksi additional authority (tambahan kewengan) khususnya dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang tidak hanya terbatas pada UU melainkan peraturan dibawah undang-undang. Sehingga pengujian UU No. 20 Tahun 2003 ini tidak senafas dengan kewenangan MK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar