Selasa, 22 Januari 2013

Keputusan Presiden Tentang Grasi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara



Keputusan Presiden Tentang Grasi
Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara
created by Achmad Haris S.H., M.H
Praktik penyelenggaraan negara dewasa ini menimbulkan problematika khususnya terkait kewenangan Presiden dalam memberikan grasi kepada Schapelle Corby terpidana dengan kasus narkotika asal Australia yang sebelumnya dipidana penjara 20 Tahun. Hal ini menjadi menarik ketika terbitkannya Keputusan Presiden No 12/G/2012 perihal pemberian grasi muncul suatu gerakan untuk menggugat keberadaan Keputusan Presiden No 12/G/2012 perihal pemberian grasi tersebut ke Pengadilan PTUN oleh Granat (Gerakan Anti Narkotika) dengan kuasa hukumnya Yuzril Ihza Mahendra. Akan tetapi permasalahan disini adalah apakah Keputusan Presiden Terkait Grasi yang diberikan kepada Corby merupakan  Keputusan Tata Usaha Negara yang menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 jo Undang 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan bagian dari objek sengketa tata usaha negara.
Keputusan Presiden No 12/G/2012 Secara Teoritikal  dan Undang-Undang UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN.  Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN
Keberaan Keputusan Presiden No12/G/2012 tentang grasi merupakan bagian dari tindakan/perbuatan administrasi negara seorang Presiden sebagai administrator suatu negara yang dalam hal ini adalah suatu tindakan penetapan pemberian grasi. Menurut Prajudi Atmosudirjo bahwa salah tindakan atau perbuatan hukum administrasi negara bentuknya Penetapan (beschikking) atau administrative discreation. Akan tetapi apakah Kepres tentang Grasi merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menjadi objek sengketa dalam PTUN. Problematika ini sebenarnya dapat diketahui dengan melakukan pendekatan teoritikal  perundang-undang yakni UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Menurut Pasal 1 angka 4 UU. No. 5 Tahun 1986 Jo UU No, 9 Tahun 2004 Jo UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN maka yang dimaksud sebagai objek sengketa tata usaha negara adalah KTUN. Lebih lanjut Pasal 1 angka 3 UU. No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa, “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, Individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 tersebut maka terdapat unsur-unsur suatu keputusan/penetapan termasuk dalam ruang lingkup KTUN. Menurut Indroharto (1996: 163) ada beberapa unsur-unsur KTUN diantaranya: pertama, bentuk penetapan tersebut harus tertulis; kedua, ia dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN; ketiga berisi tindakan hukum TUN; keempat, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; lima, bersifat konkret, individual, dan final; enam, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan unsur-unsur tersebut jika dikaitkan dengan Kepres tentang Grasi maka Kepres tersebut hanya mengandung pengertian tindakan hukum administrasi negara. sebab suatu norma hukum yang tercipta dalam Kepres No. 12/G/2012 hanya memenuhi unsur penetapan tertulis, unsur yang dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN, bersifat konkret, individual dan final. Akan tetapi ada unsur “tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang tidak terpenuhi” sehingga berimplikasi pada status Kepres tentang Grasi menjadi suatu Keputusan yang bukan merupakan KTUN berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986   jo UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN. Menurut Prajudi Atmosudirdo (1994:94) bahwa tindak hukum atau perbuatan hukum (rechtshandeling) tersebut harus sepihak (eenzijdig) dan harus bersifat administrasi negara, artinya realisasi daripada suatu kehendak atau ketentuan Undang-Undang secara nyata, kasual, invidual. Berdasarkan pengertian tersebut maka Kepres tentang Grasi bukan merupakan realisasi dari peraturan perundang-undangan atau dengan perkataan lain bukan merupakan realisasi dari suatu kehendak atau ketentuan Undang-Undang secara nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986. Hal dikarenakan Kepres No.12/G/2012 terkait pemberian grasi merupakan suatu perwujudan pelaksaan kewenangan Presiden yang diatur secara Konstitusional di dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa, “Presiden memberikan Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.
Berdasarkan ketentuan tersebut walaupun pemberian grasi merupakan hak preogratif Presiden, tetapi  secara formil Keputusan Tersebut merupakan suatu keputusan administrasi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 kepada Presiden untuk memberikan Grasi. Permasalahannya apakah UUD NRI 1945 bukan merupakan peraturan perundang-undangan. terkait hal ini maka pada prinsipnya UUD NRI bukan merupakan peraturan perundang-undangan sebagaimana syarat unsur dimaksud Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986. Sebab  walaupun merupakan norma hukum, tetapi menurut Maria farida (2007: 75-76) didalam UUD NRI 1945 terdapat dua kelompok norma hukum yakni Pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan Norma fundamental Negara yang bersifat presupposed (postulat) yang merupakan landasan filosofis dan batang tubuh yang merupakan staatsgrundgesetz/aturan dasar negara yang merupakan garis-garis besar kebijaksanaan negara dan diantara kedua norma tersebut masih bersifat garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, jadi belum dilekati norma hukum yang berisi sanksi. Sehingga kedudukan Kepres No. 12/G tentang Grasi tidak memenuhi unsur sebagai KTUN yakni, unsur “tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan”. oleh sebab itu Kepres tentang Grasi cukup dimaknai sebagai tindakan atau perbuatan administrasi negara yang bukan termasuk dalam objek Sengketa PTUN sebagaimana Pasal 1 angka 4 yaitu Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004 Jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN.    
Buku
Atmosudirjo, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1994.
Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Indroharto, Buku I :Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Peraturan perundang undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN



Tidak ada komentar:

Posting Komentar